Sindangbarang yaitu suatu kampung budaya tertua di wilayah Bogor. Dalam lingkungan Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, jarak desa itu dari Istana Bogor sekitar 5 km. Keadaan topografinya berupa lahan lereng yang miring sehingga keadaan permukiman penduduk mengikuti kemiringan lahan. Pada jarak sekitar 1 km di sebelah timur Sindangbarang mengalir Sungai Ciomas, sedangkan di latar belakang desa (sisi selatan) berdiri menjulang Gunung Salak dengan kelima puncaknya (2211 m).
Untuk mengenal lebih erat disini. Kali ini kami mencoba mengulas banyak sekali situs sejarah yang dirangkum dari banyak sekali macam sumber. Bagi yang gemar akan sejarah atau arkeologi, mungkin artikel ini menarik, tapi sebaliknya bagi yang tidak menyukainya agak sedikit membosankan. Tetapi alangkah lebih baik kita mengenal lebih dalam budaya - budaya serta beberapa peninggalan leluhur kita... Mari kita mulai yah..
Di desa tersebut mengalir sungai kecil yang disebut Cipamali menuju ke arah Sungai Ciomas. Sungai tersebut dianggap keramat oleh penduduk Sindangbarang, konon orang-orang sakti dari luar kalau berkunjung ke wilayah tersebut dan memintasi Cipamali maka ilmu kesaktiannya akan punah.
Di wilayah kampung Sindangbarang dan juga di kampung tetangganya Parakan, dijumpai banyak batu-batu besar yang semula dianggap biasa saja oleh penduduk setempat. Selanjutnya seorang tokoh masyarakat yang berjulukan Ahmad Mikami Sumawijaya menunjukkan perhatian terhadap batu-batu besar yang bertebaran di beberapa lokasi tersebut dan bersama rekan-rekannya mengadakan pelacakan dan peninjauan, setelah itu ia dan kawan-kawannya membuat peta sketsa keletakan batu-batu besar yang telah berhasil dikunjunginya.
Hasilnya sungguh luar biasa, ternyata lokasi batu-batu tersebut meliputi area yang luas dan menunjukkan kerapatan yang meningkat ke arah kawasan lereng yang lebih tinggi. Dalam suatu pertemuan “Simpay”, peminat kajian budaya Sunda yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Hendra Wijaya dan Inochi pengurus Yayasan Hanjuang Bodas yang pernah menemani pelacakan A.M. Sumawijaya, melaporkan serta memperlihatkan foto-foto perihal eksistensi megalitik di wilayah Sindangbarang.
Maka beberapa pengajar dari FIB UI yang berminat dalam kajian budaya Sunda pada tanggal 29-30 April 2006 berkunjung ke Sindangbarang, untuk melaksanakan survei awal berkenaan dengan kepurbakalaan di wilayah tersebut dan mencatat beberapa kepurbakalaan Sindangbarang yaitu:
a) Mata Air Jalatunda
Merupakan lubang sumur yang dangkal, ukuran lubang air sekitar 2 x 1 m dengan kedalaman tidak lebih dari 1,5 m. Namun hingga sekarang masih mengeluarkan air dari sela-sela susunan balok batunya, walaupun alirannya kecil tetapi terus-menerus mengalir, konon selama ini tidak pernah mengering sekalipun di ekspresi dominan kemarau.
Oleh penduduk sekeliling sumur sekarang telah di tembok semen untuk menjaga kebersihan mata air tersebut. Air dari sumur Jalatunda kemudian dialirkan melalui parit kecil ke arah timur sepanjang lebih kurang 20 m menuju suatu bentuk kolam buatan yang dinamakan Taman Sri Bagenda. Selain itu air dari sumur Jalatunda juga dialirkan ke kali kecil Cipamali.
Pada kerikil datar di erat lubang sumur, dijumpai adanya batu-batu lainnya dan sebuah kerikil yang berbentuk lingkaran mirip bola. Batu tersebut dalam khasanah megalitik lazim dinamakan dengan kerikil pelor. Hingga sekarang ini belum dapat diketahui secara pasti apa fungsi kerikil pelor.
Di situs punden berundak Lemah Duhur di Kampung Cijembar, Desa Sukajembar, Kecamatan Sukanagara, Cianjur, juga ditemukan batu-batu pelor pada di permukaan teras ke-4 bahu-membahu dengan batu-batu datar dan menhir. Sangat mungkin batu-batu pelor tersebut erat kaitannya dengan dengan suatu ritual pemujaan kepada leluhur.
Penduduk setempat menamakan Mata air Jalatunda sudah semenjak lama, apabila ditilik artinya jala dalam bahasa Sansekerta artinya air. Sedangkan tunda berarti mulut, atau sesuatu yang ibarat lubang mulut, mungkin sekali dahulu pernah terdapat pancuran air yang terbuat dari batu, atau materi lainnya.
Mata air dengan nama Jalatunda dikenal di beberapa tempat di Pulau Jawa, dan selalu dihubungkan dengan peradaban masyarakat masa lalu. Misalnya petirthan kuna di lereng barat Gunung Penanggungan yang berangka tahun 899 Saka (977 M) juga dinamakan dengan Jalatunda.
Serta sumur renta yang telah mengering di puncak bukit Gunung Jati Cirebon dinamakan juga dengan sumur Jalatunda. Agaknya penamaan Jalatunda tersebut berkaitan dengan fungsi dan makna kekeramatannya di masa lalu alasannya dianggap sebagai sumber air yang dapat dipergunakan dalam ritual keagamaan atau upacara adat lainnya.
b) Taman Sri Bagenda
Merupakan kolam berukuran sekitar 45 x 15 m, bab tepinya diperkeras dengan susunan batu-batu alami. Hal yang menarik yaitu air di kolam tersebut tidaklah merembes ke luar, padahal lahan di sisi utara, timur, dan selatannya lebih rendah dari kolam.
Di bab tengah kolam agak ke sisi selatan masih terdapat dua kerikil besar yang menyembul sedikit di permukaan air. Kolam ini pun konon tidak pernah kering, alasannya airnya diperoleh terus menerus dari aliran sumur Jalatunda.
Sangat mungkin kolam tersebut buatan masyarakat masa lalu, alasannya sisi-sisinya yang rata membentuk bagan empat persegi panjang. Lagi pula batu-batu yang disusun untuk memperkeras bab tepi kolam, ditata dengan rapi sehingga menunjukkan hasil karya manusia. Mengenai kedalaman kolam masih belum diketahui, alasannya belum dilakukan pengukuran.
Kolam tersebut dinamakan Taman Sri Bagenda, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Apalagi nama Kecamatan di wilayah tersebut juga mengandung kata taman, yaitu Taman Sari. Apabila diperhatikan dari jalan aspal yang menuju ke Ciapus, maka lahan yang disekitar Sumur Jalatunda dan kolam Taman Sri Bagenda dibentuk bertingkat-tingkat.
Tingkatan lahan itu ditandai dengan susunan batu-batu alami yang membentuk teras-teras memanjang. Sebagian teras tersebut ada yang telah diubah dan diperkeras untuk halaman rumah-rumah penduduk yang relatif padat.
c) Kepurbakalaan Majusi
Suatu bukit kecil bertingkat-tingkat di tepian kampung dinamakan oleh penduduk setempat dengan punden Majusi. Belum diketahui lebih lanjut mengapa namanya mirip itu, mungkin terdapat alasan tersendiri sehingga penduduk menyebutnya Majusi.
Setelah diperhatikan secara seksama, bukit kecil tersebut ternyata berbentuk punden berundak yang berdenah mirip bulan sabit, orientasinya utara selatan, dengan bab teras tertinggi berada di selatan.
Berdasarkan sisa undakan yang masih dapat diamati, maka jumlah teras yang ada di punden Majusi yaitu 7 tingkat. Pada permukaan teras ke-7 (tertinggi) terdapat bentuk-bentuk kubur Islam, ada yang gres menggunakan tegel dan ada pula yang disusun dari batu-batu lingkaran kecil lengkap dengan 2 nisannya.
Pada bab tengah teras ke-2, ke-3, dan ke-4 terdapat batu-batu besar berdiri, hasilnya mirip menhir. Namun sangat mungkin batu-batu besar tersebut berfungsi pula sebagai batu kelir (batu penghalang) di bab depan deretan anak tangga yang menuju ke teras yang lebih tingginya. Keadaan mirip itu mirip dengan yang ada di punden berundak Gunung Padang (Cianjur).
Hanya saja di Gunung Padang kelirnya bukan dari monolit melainkan dari struktur kerikil dari balok-balok kerikil memanjang. Selain itu di bab bawah punden Majusi (sisi timur) dijumpai adanya kerikil besar yang salah satu permukaannya datar, mirip mirip altar batu.
Begitupun di permukaan teras ke-2 hingga ke-7 terdapat monolit-monolit berukuran besar lainnya, beberapa di antaranya berada di tepian teras, dan ada yang sudah longsor ke bawah punden.
Di jalan desa erat punden masih dijumpai kerikil menhir pipih yang dipergunakan sebagai titian penyeberang selokan. Menurut keterangan penduduk setempat dahulu punden ini tidak hanya 7 teras tetapi lebih, teras-terasnya terus menyambung ke arah selatan, teras tertingginya yang sekarang menjadi bangunan masjid dan pelataran masjid tersebut.
Semula di lokasi tempat dibangunnya masjid terdapat pohon besar, di bawahnya masih dijumpai adanya arca dalam wujud sederhana serta suatu bentuk balok kerikil memanjang sekitar 1 m. Pada waktu pembangunan masjid artefak-artefak tersebut telah dipindahkan dan tidak diketahui lagi keberadaannya sekarang, demikian ungkap salah seorang penduduk setempat.
Oleh alasannya itu dapat dinyatakan bahwa kepurbakalaan Majusi sebetulnya suatu bentuk punden berundak. Mungkin sekali dahulu merupakan punden berundak besar dengan beberapa tingkatan terasnya, hanya saja yang sekarang masih dapat diamati tinggal 7 teras.
d) Kepurbakalaan Surawisesa
Pada jarak sekitar 300 m ke arah barat dari punden berundak Majusi, terdapat bukit memanjang utara-selatan, sepintas mirip bukit alami.
Apabila diamati secara seksama, maka pada dinding bukit sisi timur dan baratnya, terdapat teras-teras yang diperkuat dengan susunan tumpukan batu.
Maka dapat diduga bahwa bukit itupun juga merupakan suatu punden berundak, yang disebut oleh A.M.Sumawijaya dengan punden berundak Surawisesa.
Punden berundak tersebut terperinci merupakan buatan manusia, jumlah terasnya dari yang terendah di sisi utara hingga yang tertinggi di paling selatan yaitu 47 undakan (masih merupakan perhitungan yang belum pasti, dapat saja jumlah terasnya lebih dari itu), adapun rentang panjangnya sekitar 400 m, sungguh suatu punden berundak besar.
Apabila ada seseorang yang berdiri di teras punden tersebut dan memandang ke arah selatan, maka ia akan pribadi menatap ke salah satu bukit besar yang merupakan bab dari Gunung Salak. Hal yang menarik yaitu di permukaan teras-terasnya tidak dapat ditanami apa pun, jadi hanya ditumbuhi rumputan tebal.
Pada setengah teras teratas, sekarang ini telah menjadi petak sawah, namun pada bab lainnya datar saja ditumbuhi pohonan, dan terdapat beberapa kubur Islam kuno dan ada juga yang baru. Di bab paling belakang (untuk sementara sebut saja teras ke-47) masih terdapat kerikil batu besar, dan sebuah menhir yang masih tertanam tegak di tanah.
e) Punden Berundak Leuweung Karamat dan Saunggalah
Punden berundak tersebut berupa hunyur (tanah membukit) yang masih lebat ditutupi semak belukar dan pohon-pohon besar. Hal itu terjadi alasannya penduduk setempat masih menganggap sakral hunyur tersebut, tidak heran apabila kemudian dinamakan dengan Leuweung Karamat (hutan keramat).
Terletak sekitar 500 m ke arah barat dari punden berundak Surawisesa, melalui jalan setapak yang memintas petak-petak sawah. Keadaan teras punden ini sebagian sudah runtuh, dan terdapat pula teras berundak di dalam suatu teras sehingga agak sukar untuk dihitung jumlah terasnya.
Jumlah teras yang dapat diamati sekarang sekitar 15 undakan, dengan orientasi utara-selatan, apabila ditelisik secara cermat mungkin lebih dari 15 tingkatan.
Tinggi teras tertinggi (paling selatan) + 3 m, teras terendah di bab utara yang berawal pada lahan datar, di tengah lahan tersebut mengalir kali kecil.
Kemudian di sisi barat kali terdapat lagi teras bertingkat-tingkat yang cukup terjal dan tinggi (tingginya + 5 m) membentuk teras tertinggi dari punden berundak yang lain, dinamakan Punden Saunggalah.
Dengan demikian agaknya di lokasi tersebut terdapat punden kembar, yaitu Punden berundak Leuweung Karamat dan Punden berundak Saunggalah, antara kedua punden tersebut dipisahkan oleh kali kecil.
Adapun pada teras I-IV pada Punden berundak Leuweung Karamat terdapat kerikil alam besar yang ditegakkan, jadi dapat pula disebut sebagai menhir di bab tengah terasnya, keadaan serupa dijumpai pada Punden berundak Majusi.
Pada teras VI pada punden yang sama terdapat kerikil bergores, walaupun goresannya telah aus, dan di teras X dijumpai kerikil monolit yang ditopang oleh beberapa kerikil kecil di bawahnya, jadi mirip dolmen, hanya saja lokasinya berada di pinggir teras dan sangat mungkin dapat runtuh ke bawah. Ukuran panjang terpanjang monolit tersebut yaitu 2,10 m dengan lebar terlebar 1 m.
Punden berundak Saunggalah berorientasi timur-barat, teras tertinggi berada di sisi paling timur, pada teras yang luas tersebut sekarang telah berdiri rumah-rumah penduduk.
Di pelataran rumah penduduk tersebut sekarang masih terdapat menhir kerikil dengan puncaknya meruncing. Tinggi menhir tersebut 70 cm dari permukaan tanah, sedangkan lebar terlebar kerikil tersebut yaitu 70, 5 cm.
Teras tertinggi tersebut kemudian melandai ke barat dalam dan membentuk beberapa teras menurun, namun belum sempat dihitung jumlah terasnya, dan juga belum dapat diamati fenomena arkeologis lainnya.
f) Kelompok Megalitik Hunyur Kadoya
Merupakan kelompok batu-batu besar yang sekarang sudah tidak beraturan lagi. Apabila diamati dengan seksama, masih terlihat adanya contoh keteraturannya. Terletak pada jarak sekitar 200 m di sisi selatan Punden berundak Saunggalah, berada di tengah petak-petak sawah.
Semula merupakan bukit kecil yang tertutup tanah, ketika tanahnya dibersihkan terdapat “gudang batu” tersebut. A.M.Sumawijaya menamakan Megalitik Kadoya dengan situs Jagaraksa.
Fenomena arkeologis antara lain didapatkan suatu bentuk susunan kerikil temu gelang, yang posisinya sudah sangat terganggu, beberapa menhir besar dari kerikil pipih yang telah miring atau rebah. Salah satu menhir besar itu berukuran, tinggi tertinggi 1,96 m, dan lebar terlebar yaitu 1,55 m.
Pada bab barat situs tersebut terdapat dua kerikil berdiri sejajar seperti menjadi “pintu masuk” ke bab dalam yang dipenuhi banyak sekali batu-batu besar.
Peninggalan megalitik lainnya di wilayah Sindangbarang dan sekitarnya yaitu Punden Rucita, Punden Pasir Ater, Punden Pasir Karamat I, Punden Pasir Karamat II, Punden Batu Karut, Punden Batu kursi, Batu datar Patilasan Surya Kancana, diperkirakan ada 63 situs.
Situs-situs megalitik itu sekarang ada yang terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk, di tengah pesawahan, atau lahan yang dikeramatkan alasannya dianggap angker.
Kronologinya kepurbakalaan Sindangbarang secara relatif, berdasar kehadiran Taman Sri Bagenda, dapat dihubungkan dengan istana kerajaan Sunda yang mempunyai 5 bangunan keratonnya (Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati).
Bagian yang tersisa dari Taman Sri Bagenda keraton Sunda Kuna ketika ini hanyalah mata air jernihnya (sumur Jalatunda) dan kolam yang sangat mungkin dahulu dilengkapi pula dengan bangunan bale kambangnya (terdapat dua kerikil besar di tengah kolam sebagai ganjal tiang bangunan).
Taman Sri Bagenda dahulu tentunya mengagumkan dan asri, di lereng Gunung Salak, lahan taman dibuat bertingkat-tingkat (dinding teras-terasnya masih tersisa hingga sekarang).
Mungkin dahulu terdapat jalan yang menghubungkan istana Pakuan Pajajaran yang terletak di sisi timur Sungai Ciomas dan kompleks Taman Sri Bagenda yang terletak di kawasan barat sungai.
Di taman itulah raja Sunda Kuna dan kerabatnya dahulu pergi menentramkan diri dan juga bermeditasi menghadap Hyang yang bersemayam di puncak Gunung Salak.
Apabila naskah-naskah Jawa-Bali bertutur perihal Taman Bagenda sekitar masa ke-15-16, maka pada waktu itulah Taman Bagenda dikenal, tentunya dikenal juga di lingkungan budaya Sunda Kuna.
Dapat diperkirakan bahwa Taman Sri Bagenda dahulu berfungsi dan berperanan pada sekitar era terakhir kerajaan Sunda (abad ke-15 hingga awal masa ke-16 M).
Punden berundak dan monumen batu-batu besar lainnya merupakan peralatan ritus yang dibangun sekitar masa yang sama, tujuannya untuk memuliakan Hyang juga.
Mungkin sekali banyak sekali megalitik tersebut dibangun oleh masyarakat kerajaan Sunda Kuna yang bermukim di sekitar sentra kerajaan Sunda, kalau Pakuwan Pajajaran terletak di Bogor, maka logis saja apabila lereng utara Gunung Salak yang dipenuhi oleh banyak sekali bentuk megalitik sebagai sarana pemujaan kepada Hyang.
Ketika tentara Islam Banten menyerbu dan merebut sentra kerajaan Sunda (Pakuwan Pajajaran), dengan sendirinya Taman Sri Bagenda dan bermacam media pemujaan kepada Hyang di lereng utara Gunung Salak tersebut diabaikan hingga sekarang yang tertinggal hanya sisa-sisanya.
Tafsiran sementara yang dapat dikemukakan yaitu sangat mungkin kepurbakalaan yang berbentuk megalitik di wilayah Sindangbarang tersebut berasal dari fase terakhir kerajaan Sunda kuna, berarti berada dalam zaman sejarah, bukan dari periode prasejarah.
Maka dari itu dapat pula dinyatakan bahwa pada masa final kerajaan Sunda kuna masih dikenal bentuk-bentuk tradisi megalitik, suatu ritus pemujaan kepada Hyang dan Karuhun yang medianya menggunakan monumen atau struktur kerikil yang dikerjakan secara sederhana.
Adanya upacara serentaun yang senantiasa diadakan setiap tahun di wilayah Sindangbarang dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap peninggalan kuno tersebut. Lokasi yang berdekatan dengan Kota Bogor, akan dapat membawa dampak positif bagi pemanfaatannya, misalnya untuk pariwisata.
Adanya duduk perkara yang selalu dihadapi oleh situs yang gres ditemukan, perlu dipublikasikan tetapi ada kekahwatiran kalau masyarakat luas mengetahui akan datang berbondong-bondong dan berupaya memiliki artefak-artefak tertentu dari situs secara ilegal.
Sekian ulasan mengenai situs Sindangbarang, semoga menambah pengetahuan dan bermanfaat.